Monday, March 26, 2012

PERPUSTAKAAN…AKANKAH MENJADI PRIORITAS??????

oleh : Ikhsan Fariza, S.Sos
Pustakawan BPAD Babel


            Tanggal 17 Mei 2005 merupakan hari yang bersejarah bagi dunia perpustakaan di tanah air karena 25 tahun yang lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef secara resmi mencanangkan berdirinya Perpustakaan Nasional RI. Pada awal berdirinya Perpustakaan Nasional RI masih berada dalam naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setingkat eselon II dibawah Direktorat Jenderal Kebudayaan. Ketika didirikan, Perpustakaan Nasional RI merupakan hasil merger dari empat perpustakaan besar di Jakarta, yaitu Perpustakaan Museum Nasional, Perpustakaan Sejarah, Politik, dan Sosial (SPS), Perpustakaan Wilayah DKI Jakarta, dan Bidang Bibliografi dan Deposit, Pusat Pembinaan Perpustakaan.
            Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1989, tanggal 6 Maret 1989 menetapkankan Perpustakaan Nasional RI, setelah digabung dengan Pusat Pembinaan Perpustakaan, menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan status kelembagaan yang baru ini, secara resmi pula Perpustakaan Nasional RI lepas dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penyempurnaan susunan organisasi, tugas, dan fungsi Perpustakaan Nasional RI dalam rangka menghadapi era globalisasi dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 50 Tahun 1997, tanggal 29 Desember 1997.
            Uraian di atas menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap perkembangan perpustakaan boleh dikatakan terlambat. Ibu Pertiwi yang dilahirkan secara merdeka tahun 1945, baru melahirkan perpustakaan nasional 35 tahun kemudian (1980). Ironisnya lagi, pemerintah membutuhkan waktu 9 tahun untuk mengakui perpustakaan nasional sebagai "anak kandung" yang sejajar dengan "anak-anak" yang lain dengan status mandiri (LPND, tahun 1989). Bandingkan dengan Malaysia, yang merdeka pada tahun 1963, telah mampu melahirkan Perpustakaan Negara Malaysia pada tahun 1971. Jepang yang hancur lebur di bombardir bom atom sekutu tahun 1945, telah melahirkan Perpustakaan Nasional 3 tahun kemudian (1948).



Dampak Keterlambatan
            Keterlambatan pemerintah untuk memberdayakan institusi pusat informasi dan minat baca mengakibatkan  lahirlah suatu masyarakat yang jauh dari budaya membaca. Padahal, menurut H.A.R Tilaar (1999),  membaca pada hakekatnya merupakan proses untuk memiliki ilmu pengetahuan. Proses memiliki ilmu pengetahuan merupakan suatu proses yang lebih dikenal dengan belajar. Belajar yang merupakan inti dari pendidikan sebagian besar didominasi oleh  kegiatan membaca. Ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat itu tidak mungkin lagi dapat dikuasai melalui proses mendengar atau proses transisi dari sumber ilmu pengetahuan (guru) tetapi melalui berbagai sumber ilmu pengetahuan yang hanya dapat diketahui melalui proses membaca.
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses belajar adalah proses membaca. Proses membaca adalah proses memberikan arti kepada dunia (give meaning to the world). Hal ini berarti bahwa pemberi arti itu sendiri terus berkembang. Perkembangan arti yang dikenal sebagai wawasan dari arti tersebut berkembang melalui bacaan baik bersumber dari buku maupun bacaan melalui media elektronika. Pemberian arti terhadap dunia melalui "documented vision" yaitu dengan jalan membaca, atau dengan cara visual dari alat-alat media elektronika.
            Ironisnya, masyarakat kita sudah terlanjur tenggelam dalam budaya irassional, klenik, pornografi, dan hedonisme. Mereka larut dalam budaya yang steril dari budaya ilmu, ilmiah, dan rasional. Tayangan televisi yang didominasi oleh tayangan klenik dan misteri seperti dunia lain, gentayangan, percaya tidak percaya, dan berbagai sinetron misteri menunjukkan bahwa masyarakat belum mampu membebaskan diri dari tradisi takhayul. Anehnya lagi, di negeri ini pornografi dan kekerasan telah menjadi acara penghibur masyarakat melalui layar kaca.
            Bandingkan dengan tradisi masyarakat Negara-negara yang sudah maju, mereka lebih tertarik untuk menyelidiki dan mengekspos tayangan yang lebih bertradisi ilmiah, semacam Discovery Channel, dan Harun Yahya Channel dengan mengungkap berbagai rahasia kehidupan binatang. Tradisi ilmiah tidak dapat dibangun dengan sekejap mata, melainkan bertitik tolak dari tradisi membaca. Tradisi membaca inilah yang sejak lama memperoleh perhatian dari pemerintah Negara-negara maju sehingga mampu menghasilkan masyarakat yang bercorak ilmiah dan rasional.
            Namun, dengan segala keterlambatan yang ada,  Perpustakaan Nasional RI kini memiliki peluang yang relatif besar untuk bersaing dengan bidang pembangunan lainnya dalam memberikan layanan kepada publik. Perpustakaan Nasional RI mestinya harus memiliki semangat kepemudaan ini yang dicirikan dengan heroisme, revolusioner, kreatif, dan inovatif dalam mengembangkan diri sebagai pelayan publik di bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi.
            Alvin Toffler mengatakan siapa yang menguasai informasi berarti telah menguasai dunia. Perpustakaan nasional sebagai pusat informasi sangat diperlukan oleh masyarakat untuk menuju jendela kemajuan peradaban. Masyarakat yang "melek" informasi tentu akan lebih mudah memberdayakan dirinya sendiri dan lingkungannya. Sebaliknya, masyarakat yang "buta" informasi akan sulit untuk memberdayakan dirinya sendiri, bahkan pada titik kritis ia akan "diperdayai" oleh orang atau bangsa lain sang penguasa informasi. Fenomena TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri yang cenderung buta informasi membuktikan hal ini. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi karena minimnya akses  terhadap informasi.
 
Perkembangan Perpustakaan Babel          
            Otonomi daerah yang mulai digulirkan sejak tahun 1999, sering menjadi kambing hitam tidak terjalinnya komunikasi yang baik antara Perpustakaan Nasional RI dengan perpustakaan di daerah. Dalam setiap tantangan, pada hakekatnya selalu tersimpan peluang. Begitu juga dengan otonomi daerah, bukanlah penghalang bagi Perpustakaan Nasional RI untuk bergerilya ke daerah "untuk menyadarkan" Bupati, DPRD, Dinas Pendidikan, dan perangkat daerah lainnya agar memberikan ruang dan tempat yang terhormat kepada perpustakaan.  Perpustakaan Nasional RI jangan hanya mengadakan kegiatan seminar di pusat saja, melainkan perlu turun gunung membangunkan elit pemerintah kabupaten/kota yang masih "tidur minatnya" untuk mengembangkan perpustakaan di daerahnya.
            Bangka Belitung menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 berubah menjadi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kepala Daerah/Gubernur pun akan memasuki Kepala Daerah/Gubernur yang ke-3 kali. 12 Tahun sudah provinsi ini berdiri di bumi Indonesia dengan segala perkembangan dan kemajuan yang ada selama ini. Fasilitas infrastruktur dan perdagangan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mungkin mengalami kemajuan, tapi sungguh ironi perpustakaan yang merupakan pusat informasi terkesan terabaikan atau di “anak tirikan” dalam pembangunan. Perpustakaan Kota Pangkalpinang terbentuk pada tahun 1997 merupakan satu-satunya sentral pusat informasi pada saat itu dan menyusul terbentuknya perpustakaan Provinsi pada tahun 2008.
            Perkembangan perpustakaan pada saat ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kemajuan. Perpustakaan Kota Pangkalpinang yang telah bermitra dengan perpustakaan provinsi belum memberikan dampak yang sangat signifikan bagi pembangunan, indikator ini dapat diketahui dari jumlah pengunjung dan kesadaran para pengguna perpustakaan untuk memanfaatkan perpustakaan dengan sebaiknya atau bahkan masih banyak warga yang belum mengetahui keberadaan perpustakaan tersebut. Yang lebih miris lagi adalah masih ada sebagian masyarakat atau bahkan para pemimpin daerah yang belum mengetahui arti penting sebuah perpustakaan, sehingga perpustakaan seperti lembaga yang diakui hanya untuk “sekedar ada”.
            Perpustakaan sekolah pun sama halnya dengan perpustakaan umum yang telah dipaparkan diatas, dari sekian banyak perpustakaan sekolah yang ada hanya ada beberapa perpustakaan sekolah yang telah memiliki tenaga pengelola yang sesuai dengan standar yang telah diatur oleh Undang-undang No.43 Tahun 2007 tentang perpustakaan dan salah satu amanatnya dalam pasal 23 adalah pembentukan Perpustakaan Sekolah. Disitu pun dijelaskan bahwa sekolah/ madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5 % dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pegembangan perpustakaan.           
             Sumber daya pengelola perpustakaan pun belum mendapatkan perhatian, pengelola perpustakaan pada perpustakaan umum maupun perpustakaan sekolah masih dibawah standar yang diatur dalam standar pengelola perpustakaan yang dibuat oleh Perpustakaan Nasional RI yaitu minimal berpendidikan D-II perpustakaan. Universitas Terbuka dalam hal mengembangkan sumber daya manusia untuk pengelola perpustakaan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan membuka kelas/jurusan perpustakaan dengan tingkat D-II, ini merupakan standar minimal yang diakui untuk pengelola perpustakaan sekolah. Dengan maksud ini diharapkan setiap daerah mempunyai mahasiswa yang mengikuti program ini akan dipersiapkan untuk pengelola perpustakaan sekolah dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan sekolah menengah Atas.
            Perpustakaan provinsi pun selama ini telah membuat program yang bertujuan untuk mengenalkan perpustakaan kepada masyarakat. Di tingkat Kelurahan/desa telah dibangun 14 perpustakaan tiap kabupaten yang telah dijalankan dalam 2 tahap. Setiap tahunnya akan terus dibangun perpustakaan kelurahan/desa sehingga tercipta perpustakaan di tiap desa dengan tujuan meningkatkan minat baca dan memperkenalkan layanan perpustakaan yang ada di Provinsi Bangka Belitung.

Aplikasi Total Quality Services (TQS)
            Fandy Tjiptono (1997), dalam bukunya "Prinsip-Prinsip Total Quality Service" mengungkapkan, ada tiga kunci memberikan layanan pelanggan yang unggul. Konsep ini, jika diterapkan dalam konteks layanan perpustakaan terhadap pengguna perpustakaan menjadi : pertama, kemampuan memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat pengguna perpustakaan. Termasuk di dalamnya memahami tipe-tipe pengguna perpustakaan.
            Sedikitnya ada 5 (lima) tipe pengguna perpustakaan, yaitu pertama, prospek, yaitu orang-orang yang mengenal manfaat perpustakaan, tetapi belum pernah mengunjungi dan memanfaatkan jasa perpustakaan. Kedua, pengunjung, yaitu prospek yang telah yakin untuk mengunjungi perpustakaan tersebut, minimal satu kali. Tetapi, pengunjung masih belum membuat keputusan untuk memanfaatkan ataupun meminjam koleksi bahan pustaka. Ketiga,  pemakai, yaitu orang yang memanfaatkan/meminjam koleksi bahan pustaka yang dimiliki oleh perpustakaan. Keempat, klien, yaitu orang yang secara rutin mengakses, memanfaatkan, dan meminjam koleksi bahan pustaka di perpustakaan. Kelima, penganjur, yaitu pemakai yang sedemikian puasnya dengan layanan yang diberikan oleh perpustakaan, sehingga ia akan menceritakan kepada siapa saja tentang betapa memuaskannya layanan perpustakaan tersebut.
            Kedua, pengembangan database yang lebih akurat daripada pesaing jasa informasi lainnya. Database koleksi bahan pustaka yang dimiliki oleh Perpustakaan Provinsi Babel harus mampu bersaing dengan penyedia jasa informasi lainnya, terutama dengan harapan pesaing dari dunia maya. Situs internet juga harus dibangun bagi perpustakaan provinsi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Provinsi, agar tidak menjadi "perpustakaan ketinggalan kereta".
            Ketiga, pemanfaatan informasi-informasi yang diperoleh dari riset pengguna perpustakaan dalam suatu kerangka strategik yang diwujudkan dalam pengembangan relationship marketing, yang bercirikan : (1) berfokus pada customer retention, (2) orientasi pada manfaat jasa perpustakaan, (3) layanan pemakai sangat diperhatikan dan ditekankan, (4) komitmen terhadap pengguna perpustakaan sangat tinggi, (5) kontak dengan pengguna perpustakaan sangat tinggi, dan (6) kualitas jasa perpustakaan memperoleh perhatian semua pihak.

Strategi TQS Dalam Memelihara Kualitas Layanan
            Strategi untuk memelihara kualitas layanan perpustakaan mencakup : pertama, atribut layanan pengguna perpustakaan Layanan perpustakaan harus tepat waktu, akurat, penuh perhatian dan keramahan, mengingat layanan tidak berwujud fisik (intangible) dan merupakan fungsi dari persepsi. Selain itu, layanan juga bersifat tidak tahan lama (perishable), sangat variatif (variable), dan tidak terpisahkan antara koleksi bahan pustaka dan pengguna perpustakaan. Atribut-atribut layanan ini dapat dirangkum dalam akronim COMFORT, yaitu Caring (kepedulian), Observant, (suka memperhatikan), Mindful (hati-hati/cermat), Friendly (ramah), Obliging (bersedia membantu), Responsible (bertanggung jawab), dan Tacful (bijaksana). Aplikasi atribut-atribut ini sangat tergantung pada keterampilan hubungan antar pribadi, komunikasi, pemberdayaan, pengetahuan, sensitivitas, pemahaman, dan berbagai macam perilaku eksternal.
            Kedua,  sistem umpan balik untuk meningkatkan kualitas layanan terhadap pengguna perpustakaan. Umpan balik sangat diperlukan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan yang berkesinambungan. Untuk itu, perpustakaan perlu mengembangkan sistem yang responsif terhadap kebutuhan, keinginan, dan harapan pengguna perpustakaan. Informasi umpan balik harus difokuskan pada hal-hal berikut : (a) memahami persepsi pengguna perpustakaan terhadap perpustakaan, (b) mengukur dan memperbaiki kinerja perpustakaan, (c) mengubah bidang-bidang terkuat perpustakaan menjadi faktor pembeda dengan penyedia jasa informasi lainnya, (d) mengubah kelemahan menjadi peluang untuk berkembang, sebelum pesaing lain melakukannya,  dan (e) menunjukkan komitmen perpustakaan pada kualitas dan para pengguna perpustakaan.
            Salah satu umpan balik yang perlu diperhatikan oleh Perpustakaan Nasional RI adalah penanganan keluhan pengguna perpustakaan. Dalam menghadapi pengguna yang tidak puas dengan layanan yang diberikan,  perpustakaan perlu menumbuhkan empati untuk mendinginkan suasana. Perpustakaan perlu mendengarkan keluhan pengguna tentang kekecewaannya yang tidak menemukan informasi yang dicarinya. Perpustakaan tidak perlu sibuk membela diri dalam menghadapi keluhan dari pengguna, melainkan berusaha mencari  solusi yang terbaik bagi pengguna perpustakaan.
            Keluhan dari pengguna harus segera ditanggapi oleh pihak perpustakaan, jika tidak, perpustakaan akan ditinggalkan oleh penggunanya.  Citra perpustakaan yang sudah semakin baik di mata publik, janganlah dicemari dengan keterlambatan penanganan keluhan. Dengan penanganan keluhan yang cepat tepat diharapkan dapat mengeliminasi sebagian besar ruang kekecewaan publik terhadap perpustakaan. Perpustakaan jangan sampai terkontaminasi oleh patologi birokrasi yang terkenal dengan layanan yang bertele-tele, lambat, tidak jelas, dan  berkomitmen rendah terhadap publik.
            Ketiga, strategi Relationship Marketing, yaitu strategi di mana transaksi informasi yang terjadi antara perpustakaan dan pengguna perpustakaan dapat terus berlanjut, tidak hanya berlangsung sekali saja. Dengan kata lain perpustakaan perlu memberdayakan pengguna perpustakaan sedemikian rupa sehingga timbulah kesetiaan/loyalitas para pengguna perpustakaan terhadap perpustakaan. Perpustakaan dapat memfasilitasi pembentukan kelompok pembaca, klub buku, kelompok penggemar buku,  maupun kelompok diskusi berdasarkan selera pembaca terhadap buku-buku tertentu
            Komunitas sosial semacam ini sudah lama dibentuk oleh penerbit buku untuk menjaga loyalitas pembeli buku terhadap pihak penerbit.  Penerbit Gramedia, misalnya merupakan penerbit yang sudah cukup lama berkecimpung dalam pembentukan klub buku. Tahun 1995 Gramedia Book Club (GBC) didirikan dan sejak tahun 1999 tidak hanya GBC, penerbit ini menawarkan VIP Card yang banyak memberikan kemudahan bagi anggotanya. Tujuannya, tak lain adalah untuk memupuk ikatan dengan pelanggan-pelanggan setia Gramedia di manapun berada (Kompas, 19 Maret 2005).

0 komentar:

Post a Comment