Pustakawan BPAD Babel
Mungkin ketika kita kecil Ibu selalu
mendongeng untuk mengantarkan kita tidur. Setiap hari dongengnya selalu
berganti. Seakan-akan tak pernah habis. Mulai dari dongeng “kancil mencuri
timun” dengan berbagai setting cerita, sampai pada “tikus desa berkunjung ke
kota”. Ketika ibu kehabisan bahan untuk mendongeng, ibu akan membacakan cerita
dari buku kumpulan dongeng anak-anak. Sesekali kita bertanya bila ada kata-kata
yang tidak kita mengerti. Dan Ibu dengan sabar menjelaskan kata-kata tersebut
sampai kita mengerti. Begitulah kita belajar dan mengumpulkan kosa kata. Pada
waktunya kosa kata tersebut akan keluar dalam bentuk komunikasi dengan
teman-teman kita. Selain itu dongeng itu menjadikan hubungan batin kita sebagai
anak dengan Ibu sangat dekat. Sesudah kita lancar membaca, maka kita dapat
membaca sendiri cerita dari buku-buku yang dipinjami Bapak dari perpustakaan.
Kebiasaan membaca inilah kelak yang membantu kita menapaki hidup yang walaupun
tidak berlebihan, namun tetap survive di tengah persaingan hidup yang sangat
ketat.
Saat ini, mungkin karena kesulitan
ekonomi yang tak kunjung mereda, ibu-ibu sudah jarang sekali mendongeng untuk
anak-anaknya untuk mengantarkan tidur mereka. Ibu-ibu jaman sekarang harus bekerja
untuk membantu meringankan beban keluarga. Mereka kelelahan sesudah seharian
bekerja dengan gaji yang tidak pernah cukup untuk menopang kebutuhan keluarga.
Tidak ada waktu lagi untuk sekedar bercanda ria dengan anak-anaknya. Apalagi
mendongeng. Apabila terpaksa mendongeng, maka dongeng sang ibu sering kacau
karena kalah oleh kantuk, dan sudah tertidur sebelum dongengnya tamat. Padahal
anaknya belum tertidur. Anak-anak tidak bisa belajar lagi di rumah. Pendidikan
mereka 100 % diserahkan ke sekolah. Padahal di sekolahpun para guru tidak bisa
mendidik seperti jaman dulu. Karena guru-guru jaman sekarang mengajar di banyak
sekolah untuk sekedar menambal kekurangan gaji mereka supaya dapur para guru
itu tetap berasap. Tinggallah anak-anak kita yang jadi korban. Anak-anak lebih
banyak berkeliaran di mal-mal. Atau kalaupun ada di rumah, mereka duduk di
depan TV menyaksikan tayangan yang penuh dengan kekerasan dan seks. Akibatnya,
anak-anak menjadi mudah marah, mudah tersinggung. Puncaknya adalah tawuran antar
sekolah. Kita tidak pernah tahu apa yang mereka bela. Kalau kehormatan sekolah
yang dibela, mungkin masih dapat dimengerti. Namun tawuran mereka lebih sering
karena alasan iseng saja. Saling mencemooh antar pelajar dan berbuntut saling
baku hantam. Bahkan tidak jarang baku bacok.
Kemampuan berkomunikasi merekapun juga
kurang baik. Kadang-kadang pikiran mereka lebih cepat dari ucapan mereka.
Jangan disuruh mereka menulis. Berbicara saja mereka susah memilih kosa kata,
karena memang miskin kosa kata. Mereka tidak pernah terlatih untuk menggunakan
banyak kosa kata. Dengarkan jika kebetulan anak muda diwawancara oleh wartawan
media elektronik. Jawaban mereka sering meloncat dari satu topik ke topik yang
lain. Tidak pernah runtut dalam mengemukakan pendapat. Mengemukakan pikiran
yang runtut hanya bisa dilatih dengan cara membaca dan menulis.
Sesungguhnya pendidikan di lingkungan
keluarga merupakan kunci dari permasalahan yang kita hadapi sekarang ini. Dan
kunci pendidikan di lingkungan keluarga adalah ibu. Jika saja ibu dapat
memberikan teladan-teladan yang berasal dari dongeng atau cerita dari buku
dongeng anak-anak, maka jiwa anak-anak itu sudah diisi oleh hal-hal yang baik
sejak dini. Masalahnya dari mana ibu-ibu tersebut bisa mendapatkan buku cerita
supaya dia bisa mendongeng dengan baik. Membeli buku cerita anak bagi keluarga
sederhana merupakan sesuatu yang muskil. Bayangkan, untuk satu nomor majalah
Bobo saja harganya sama dengan setengah kilogram telur ayam. Padahal satu edisi
majalah Bobo mungkin hanya bisa menjadi dua hari untuk bahan mendongeng. Jika
anak-anak tersebut sudah bisa membaca sendiri, maka bahan bacaan yang
dibutuhkannya akan semakin mahal. Satu edisi majalah Kawanku misalnya akan
lebih mahal dari harga satu kilogram telur ayam.
Lebih jauh lagi mestinya penyediaan
bahan bacaan ini merupakan tanggung jawab Pemerintah. Perpustakaan umum harus
diberdayakan. Bahkan mestinya perpustakaan umum ini ditempatkan di pusat
keramaian seperti pasar dan swalayan. Dengan demikian ibu-ibu yang lelah
sehabis keliling berbelanja di pasar tersebut dapat mampir sejenak untuk
memilih bahan bacaan untuk si kecil di rumah. Dalam hal penempatan lokasi
perpustakaan umum ini kita patut mencontoh Singapura. Hampir setiap pusat
pertokoan di Singapura ada perpustakaan umumnya. Salah satu perpustakaan umum
di Singapura berlokasi di pusat perbelanjaan “Takasimaya” yang berlokasi di
pusat kota, Orchid Road. Perpustakaan itu penuh dengan pengunjung tua, muda,
bahkan anak-anak usia TK/SD yang melakukan aktifitas seperti membaca, melihat-lihat
buku, meminjam, dan sebagainya. Di perpustakaan ini juga disediakan kafe dengan
kualitas standard semacam McDonald dan Kentucky Fried Chicken, dan setiap
beberapa hari perpustakaan juga menyelenggarakan life music di kafenya. Dengan
demikian masyarakat yang datang ke perpustakaan juga bisa menikmati makanan
yang enak dengan suasana yang enak, serta dapat membaca dengan enak pula. Di
perpustakaan ini pendidikan masyarakat dapat dilakukan seperti mendidik
berdisiplin dan saling menghargai satu sama lain. Mengambil contoh Singapura
tadi misalnya, begitu masuk di pintu utama gedung perpustakaan pengunjung sudah
diingatkan dengan etika ke perpustakaan atau library etiket. Peringatan
tersebut digambar di lantai seperti matikan handphone dan pager, Jangan
berbicara keras, Jangan berdiskusi di perpustakaan. Sedangkan yang berhubungan
dengan bahan pustaka ada peringatan seperti Perlakukan pustaka dengan baik,
kembalikan ke tempat semula atau ke keranjang pengembalian untuk kenyamanan
pembaca lain, dan lain-lain. Disini masyarakat dibiasakan untuk mematuhi etika
dan peraturan yang diberlakukan di perpustakaan. Juga dibiasakan untuk
menghargai hak-hak orang lain. Misalnya jangan berbicara keras, karena bisa
mengganggu kenyamanan orang lain; mematikan telepon genggamnya supaya tidak
mengganggu kenyamanan orang lain dan sebagainya. Jika kebiasaan ini dapat
berimbas kepada kehidupan mereka di luar perpustakaan, alangkah indahnya dan
nyamannya kita beraktifitas sehari-hari. Tidak ada supir yang berhenti seenaknya;
tidak ada orang yang menyerobot antrian di kasir pasar swalayan, di bank-bank
dan ATM; tidak ada pejabat yang sibuk menerima panggilan telepon genggam
padahal ia sedang menghadiri rapat penting, dan lain-lain.
Perpustakaan juga dapat mendidik
masyarakat untuk berperilaku halus yaitu dengan menyediakan bacaan-bacaan
rekreasi yang bisa mengasah perasaan mereka seperti buku-buku sastra, novel,
cerpen dan lain-lain. Lihat masyarakat sekarang yang cenderung brutal. Tidak
terkecuali kalangan terpelajar seperti mahasiswa dan pelajar. Tanyakan kepada
mereka, apakah dia sering membaca dan apa bacaannya. Saya yakin mereka tidak
pernah atau jarang sekali membaca. Kalaupun membaca, saya yakin bacaan mereka
adalah bacaan yang tidak bermutu yang banyak beredar di sekitar kita, seperti
koran-koran kriminal, perkosaan, perampokan, penodongan, pelecehan seksual dan
lain-lain yang justru menjadi pemicu kekerasan dan bahkan mengarahkan ke
perilaku jahat. Jika perpustakaan dapat menyediakan bacaan bermutu dengan
suasana yang nyaman, maka masyarakat mempunyai pilihan untuk mendapatkan
informasi. Dengan kesibukan membaca maka para mahasiswa dan pelajar tidak punya
waktu lagi untuk bergerombol dan “kongkow-kongkow” dan kemudian saling
mengganggu dan tawuran.Kembali ke peran Ibu di rumah tangga, marilah pada
kesempatan hari Ibu ini kita berdayakan Ibu-ibu disekitar kita. Jika ibu dapat
mendidik anak-anaknya dengan baik saya percaya bahwa generasi bangsa Indonesia
kedepan akan lebih baik. Karena itu berilah Ibu-ibu itu bahan untuk memberi
teladan yang baik-baik kepada anaknya melalui dongeng-dongeng yang dapat
mengantarkan anaknya tertidur dengan mimpi-mimpi indah.
Hampir tiap tahun orang
tua diingatkan untuk menanamkan dan menumbuhkan minat membaca anak melalui
media massa, namun keluhan bahwa minat membaca anak tetap rendah masih selalu
terdengar. Nampaknya belum ditemukan cara yang efektif untuk melibatkan orang
tua dalam menolong meningkatkan minat membaca. Belum banyak diteliti mengenai
faktor-faktor yang menentukan bagaimana cara melibatkan orang tua untuk
meningkatkan minat membaca anak. Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut
dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk meningkatkan
keterlibatan orang tua dalam menumbuhkan minat membaca anak di keluarga masing-masing.
PEMBINAAN
MINAT BACA MELALUI LINGKUNGAN KELUARGA
Anak
adalah amat Sang Pencipta pada orang tua, keluarga, dan masyarakat. Ia harus
dibimbing dan dipelihara sebagai aset masa depan. Wajah masa depan sebuah
negeri dapat dilihat dari bagaimana kualitas anak-anak masa kini. Yang namanya
anak, tidak sebatas anak kecil saja, tetapi juga remaja bahkan dewasa,
sepanjang mereka masih menjadi bagian dari tanggung jawab orang tuanya (baca:
belum menikah). Permasalahan anak bukan permasalahan sepele karena menyangkut tanggung
jawab kepada Allah SWT sebagai Pemberi Amanah. Allah SWT menjadikan anak
sebagai ujian bagi bagi kedua orangtuanya sekaligus sebagai anugerah penerus
keturunan dan tabungan kebaikan manakala orang tuanya sudah meninggal.
Kedudukan
anak sebagai ujian terjadi tatkala orang tua harus berhadapan dengan bagaimana
cara memperlakukan, membina dan membimbingnya agar ia tumbuh menjadi bagian
dari generasi unggul. Keunggulan di sini meliputi keungggulan secara moral,
keilmuan, serta fisiknya dan tidak menjadi generasi yang hanya membenani orang
lain. Siapa yang pertama kali harus bertanggung jawab pada pembinaan minat baca
anak? Jawabannya yang pasti adalah orang tua anak itu sendiri. Orang tua adalah
orang yang pertama dan terutama wajib bertanggung jawab atas pembinaan minat
baca anak-anaknya, sebab tanggung jawab ini menjadi lading bagi khususnya ibu
serta bapak dalam menanamkan akhlak yang baik sebagai landasan bertindak dan
berperilaku ke depannya.
Pertanggungjawaban
orang tua atas pembinaan minat baca anaknya dapat dijelaskan dengan dua alasan sebagai berikut :
1. Secara
biologis, kelahiran anak berasal dari orang tuanya. Sebagai orang tua mereka
bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya sehingga anaknya dapat berdiri
sendiri. Dalam cakupan tanggung jawab mendidik ini termasuk pula tanggung jawab
membina akhlak, rasa social, rasa kebangsaan, kecerdasan termasuk pula membina
minat bacanya.
2. Sifat
ketidakberdayaan dan ketergantungan anak kepada orang lain, khususnya pada
kedua orang tuanya. Sifat ketidakberdayaan anak inilah yang menyebabkan orang
tua harus bertanggung jawab kepada pendidikan anaknya termasuk tanggung jawab
pembinaan minat bacanya.
Sebuah
Syair yang dinisbahkan kepada Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib menyatakan:
Bersegeralah mengajar anakmu sopan-santun
saat ia kecil agar kedua matamu menjadi berbinar saat ia dewasa. Sesungguhnya kisah-kisah teladan yang kau paparkan kepada anakmu di masa kanak-kanak, ibarat
mengukir di batu. Itu adalah khazanah yang akan senantiasa tumbuh. Dan tidak
ada rasa khawatir terhadap tantangan zaman.
Al-Ghazali
mengatakan, “Kita harus membina dan mendidik anak saat ia masih kecil ibarat
mengukir di atas batu; bekasnya akan bertahan lama. Sebab, hati suci anak
ibarat permata berharga yang masih belum terdapat relief dan ukiran apapun (di
atasnya), dan dapat dibentuk serta diukir dengan bentuk apa saja.”
Ibnu
Abdulbar, penulis buku Jami’u Bayan al-ilm
mengatakan, “Pendidikan dan pembinaan harus dilakukan pada masa kecil, karena
seorang yang belajar ilmu pada masa muda, belajarnya ini laksana mengukir di
atas batu. Dan seorang yang belajar dan menuntun ilmu pada masa tua, itu tak
ubahnya seperti menulis di atas air (tidak ada bekas dan pengaruhnya).”
Ada
beberapa hal yang dapat kita terapkan saat mendidik anak, di antaranya sebagai
berikut :
1. Membantu
anak berpikir kreatif
Kita
bisa melatih anak berpikir kreatif dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tertentu, dan alasan tentang segala hal yang kita tanyakan. Misalnya mengapa
kita harus mandi tiap hari. Biarkan anak berekspolarasi dengan
jawaban-jawabannya.
2. Melatih
anak berdiskusi
Ketika
anak mengungkapkan sebuah pendapat, ajaklah dia untuk menemukan alasan mengapa
ia mengungkapkan hal tersebut. Perlihatkan keingintahuan kita terhadap apa yang
diungkapkannya. Tetapi jangan menggiringnya pada jawaban yang “seharusnya” atau
yang diinginkan orang tua, seperti menyudutkannya untuk memberikan alasan yang
lain yang bisa menyenangkan (memuaskan) orang tua, padahal itu bukan alasannya.
3. Menanamkan
kebiasaan membaca
Untuk
menumbuhkan minat baca pada anak, kita perlu menunggu dia berumur dua hingga
enam tahun. Kita bisa melakukannya saat anak masih berusia empat bulan.
Tujuannya tentu bukan agar anak memahami isi bacaan, akan tetapi merangsang
aspek-aspek psikisnya. Bukunya pun lebih yang berbentuk buku bergambar yang
berwarna warni dan sedikit kata. Hal tersebut penting untuk merangsang
kemampuan kognisi, komunikasi, social, dan afeksi anak. Keikutsertaan anak
memegang buku pun akan membuat ia terlibat secara emosional.
4. Menghindari
kesalahan memotivasi anak
Membuat
anak bersalah ketika ia tidak berbuat sesuai dengan keinginan orang tua dan
berharap anak termotivasi untuk berbuat lebih baik (baca: menurut orang tua),
justru akan membuat anak tidak percaya diri. Demikian juga jika kita
membandingkan anka dengan orang lain yang dianggap lebih. Alih-alih termotivasi
untuk berbuat seperti orang lain tersebut, anak akan merasakan bahwa dirinya
lemah dan tidak berharga.
MENDORONG ANAK GEMAR MEMBACA
Kebiasaan
membaca sejak dini ternyata dapat menggali bakat dan potensi anak. Membaca juga
memacu daya nalar dan melatih konsentrasi. Tidak sedikit orang sukses berasal
dari keluarga yang cinta membaca. Memperkenalkan bacaan pada anak sejak kecil
dapat meningkatkan prestasi anak di sekolah. Karena itu, pentingnya orang tua
mengapresiasikan budaya baca pada anak dengan rajin mendongeng dan
memperkenalkan buku-buku cerita yang disesuaikan usianya. Yang perlu diingat,
jangan mendorong-dorong anak untuk membaca sementara orang tuanya tidak pernah
membaca. Karena mencontohkan lebih efektif ketimbang bicara.
Agar anak tidak bosan membaca,
sebaiknya anak-anak diberi buku-buku lucu dan berwarna-warni, serta bacaan
sesuai usianya. Pada usia 0-2 tahun misalnya, anak-anak sadang pada taraf
melatih motorik sehingga cara paling baik adalah oang tua aktif mendongeng
untuk anak dan memberi contoh. Pada usia 2-5 tahun, anak-anak bisa diberi
buku-buku plastik sehingga bisa dbawa kemana-mana. Buku –buku itu juga bisa
yang berbahan kain, dengan menampilkan gambar hewan atau buah-buahan. Pada
awalnya anak diberi buku yang setiap halamannya berisi satu kalimat.
Memperkenalkan budaya membaca pada usia sedini mungkin akan memberikan hasil
yang lebih optimal daripada menunggu sampai anak sudah lebih besar dan lebih
menyukai budaya menonton TV. Dalam menumbuhkan minat baca, yang penting orang
tua harus mau belajar intonasi dan gerak saat berkomunikasi dengan anak melalui
aktivitas mendongeng.
Selain
orang tua, media massa dan pemerintah juga memegang peranan penting dalam
menumbuhkan kebiasaan membaca sejak kecil. Media massa saat ini masih berfokus
pada buku-buku dewasa, terutama pada rubric resensi bukunya. Seyogianya,
resensi buku anak juga harus di kedepankan agar orang tua terpacu untuk
menumbuhkan budaya membaca pada anak-anaknya. Sementara dari pemerintah,
minimal adanya satu perpustakaan di setiap kabupaten/kota sampai kepada
perpustakaan desa/kecamatan yang buka 7 hari dalam seminggu, termasuk Sabtu dan
Minggu sehingga orang tua bisa mendampingi anak-anaknya berkunjung ke
perpustakaan.
MEMBINA MINAT BACA DI USIA DINI
Pertumbuhan minat baca bisa dimulai
sejak bayi dilahirkan. Bahkan banyak ahli psikologi yang menyarankan agar bayi
yang masih ada di dalam kandungan distimulasi sejak dini untuk mengenal dunia
luar dengan mengajak mereka berbicara. Janin yang masih berada dalam perut
ibunya sudah dapat mendengar suara yang ada di sekitarnya, meskipun masih sangat
lemah.
Para ahli psikologi dan syaraf
menyatakan bahwa pada masa bayi berada dalam kandungan maka pertumbuhan otaklah
yang paling cepat di antara bagian tubuh yang lain. Pada bayi yang dilahirkan,
sel-sel otak (neuron) telah mencapai 25% dari otak orang dewasa serta
mengandung 100 miliar sel otak. Pada saat anak berusia 3 tahun, pertumbuhan
otak sudah mencapai sudah mencapai 90% dari otak dewasa. Setelah usia 3 tahun
ke atas tinggal fase pembesaran dan pematangan neuron. Oleh karena itu, dalam
usia dini anak perlu dikenalkan dengan dunia membaca. Otak mereka akan merekam
isi bacaan apapun yang disampaikan orang tuanya dalam gaya cerita. Hal ini
telah dipraktikan dan menjadi tradisi di Jepang dengan gerakan 20 Minutes Reading of Mother and Child.
Gerakan ini menganjurkan seorang ibu untuk membacakan anaknya sebuah buku yang
dipinjam dari perpustakaan umum atau sekolah selama 20 menit sebelum anaknya
tidur. (Buletin Pusat Perbukuan, Depdiknas No.1 Tahun 2000)
Selain itu anak juga perlu diberikan buku-buku yang penuh warna-warni
dan isinya memikat daya fantasi. Di samping untuk mengenalkan bentuk, juga
mengenalkan warna pada anak. Karena pada usia dini, anak belum mampu
memperlakukan buku dengan baik sehingga fisik buku yang diperlukan anak umumnya
mesti kuat dan tebal, tidak mudah robek, dan gampang dibuka. Di Amerika,
buku-buku seri Child Growing-up
(tumbuh kembang anak) terbitan Sesame
Street sangat digemari, sebab isinya sangat pas bagi anak, fisik buku pun
sangat aman dan menarik bagi anak.
*pernah diterbitkan di BULETIN PUSTAKA (Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Semarang) Edisi 12, Desember 2012
*pernah diterbitkan di BULETIN PUSTAKA (Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Semarang) Edisi 12, Desember 2012
Sumber bacaan :
Muhammad, Baqir Hujjati.2008.Mendidik Anak sejak Kandungan.Cetak I.
Jakarta: Cahaya
0 komentar:
Post a Comment